Kriteria Muntah yang Membatalkan Puasa
Masih merujuk pada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa'i di atas, maka kriteria muntah yang membatalkan puasa adalah muntah yang disengaja.
Mengutip Buku Memantaskan Diri Menyambut Ramadhan karya Abu Maryam Kautsar Amru, ketika terjadi reaksi mual dan akan muntah yang tidak kemudian disengaja atau dipaksa untuk muntah, maka muntahnya yang "alami" ini tidak membatalkan puasa. Namun, jika terjadi reaksi mual dan akan muntah, seseorang malah justru memaksakan untuk sekalian dimuntahkan, maka puasanya batal.
Salah satu contoh muntah yang disengaja adalah memasukkan jari ke tenggorokan saat berpuasa hingga mengakibatkan dirinya muntah. Jika demikian, pelakunya diwajibkan untuk mengganti puasa tersebut dengan mengqadha puasa.
Itulah penjelasan mengenai hukum muntah saat menjalankan puasa Ramadhan. Semoga membantu!
Artikel ini ditulis oleh Insi Faiqoh peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
Masih sering dipertanyakan terkait hal apa saja yang bisa membatalkan puasa seorang muslim, contohnya saja muntah. Lantas, apakah muntah dapat membuat puasa menjadi batal?
Menukil buku Fiqih Praktis, Muhammad Bagir mengemukakan bahwa menyengaja muntah mampu membatalkan puasa. Juga Muhammad Najmuddin Zuhdi & Muhammad Anis Sumaji dalam buku 125 Masalah Puasa menerangkan, muntah yang disengaja menjadikan batal puasa.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi melalui kitab Minhajul Muslim menyebutkan sejumlah perkara yang mempu membatalkan puasa seseorang, di antaranya adalah muntah yang disengajai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Contoh menyengaja muntah, seperti orang yang memasukkan jarinya ke bagian mulut dalam ketika berpuasa, sehingga membuatnya mual kemudian muntah.
Contoh lain, saat seseorang sengaja mencium aroma yang membuat dirinya mual lalu muntah. Hal-hal semisal ini membatalkan puasa seseorang, dan mewajibkannya untuk mengqdha puasa.
Ini disandarkan pada apa yang Rasul SAW sabdakan dalam riwayat Abu Hurairah, "Barang siapa muntah-muntah tanpa disengaja ketika berpuasa, maka ia tidak harus mengqadha puasanya, dan barang siapa muntah-muntah dengan disengaja ketika berpuasa, maka ia harus mengqadha puasanya." (HR Ibnu Majah)
Dijelaskan kitab Sunan At-Tirmidzi, para ulama menafsirkan riwayat Abu Hurairah tersebut, yakni bila orang yang berpuasa muntah tanpa disengaja, maka tidak wajib qadha puasanya. Namun jika ia muntah secara sengaja, maka harus mengqadha puasanya itu.
Apakah Muntah Membatalkan Puasa?
Dikutip dari laman NU Online, muntah dapat membatalkan puasa tergantung apakah muntah tersebut terjadi disengaja atau tidak disengaja.
Merujuk pada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa'i, dijelaskan bahwa muntah secara tidak sengaja tidak membatalkan puasa.
Berikut bunyi haditsnya:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ, وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ - رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ
Artinya: "Siapa saja yang muntah, maka ia tidak berkewajiban qadha (puasa). Tetapi siapa saja yang sengaja muntah, maka ia berkewajiban qadha (puasa)."
Dengan demikian, para ulama menarik kesimpulan bahwa orang yang terlanjur muntah saat berpuasa dapat meneruskan puasa karena hal tersebut tidak membatalkan puasanya.
من غلبه القيء وهو صائم فلا يفطر، قال الأئمة لا يفطر الصائم بغلبة القيء مهما كان قدره
Artinya: "Siapa saja yang (tak sengaja) muntah saat berpuasa, maka puasanya tidak batal. Para imam mazhab berpendapat bahwa orang yang berpuasa tidak menjadi berbuka (batal puasa) karena muntah berapapun kadarnya'," (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 305-306).
Jadi, orang yang terlanjur muntah tanpa disengaja atau secara tiba-tiba (ghalabah) saat berpuasa dapat meneruskan puasanya karena tidak menyebabkan batal selama tidak ada muntahan yang kembali ditelan dengan sengaja. Muntah yang tidak disengaja ini seperti wanita hamil yang umumnya mengalami mual-mual hingga muntah (morning sickness) dan muntah karena mabuk perjalanan.
Hal ini juga berlaku sama bagi yang merasa mual tetapi tidak sampai muntah. Karena hanya berhenti di pangkal tenggorokan, maka tidak menyebabkan puasa menjadi batal.
Mabuk dalam perjalanan bisa terjadi dalam perjalanan mudik dengan jarak dan waktu tempuh yang lama. Salah satu gejala akibat mabuk perjalanan adalah muntah. Lantas, apakah muntah saat berpuasa bisa membatalkan puasa?Berikut penjelasannya.
Muntah adalah kondisi ketika isi lambung keluar secara paksa melalui mulut. Kondisi ini bisa terjadi kapan saja, bahkan saat sedang berpuasa sekalipun. Lantas muncul satu hal yang kerap menjadi pertanyaan, apakah muntah dapat membatalkan puasa Ramadhan?
Selama Ramadhan, umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa disebut juga menahan makan dan minum, menahan hawa nafsu, perbuatan dan perkataan yang sia-sia serta perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Termasuk juga memasukkan benda konkrit ke dalam rongga tubuh seperti minum obat dan sejenisnya.
Oleh sebab itu, selama menjalankan ibadah puasa, umat Islam harus menghindari perkara-perkara yang dapat membatalkan puasanya. Namun, ada beberapa hal yang bisa terjadi secara tidak sengaja saat berpuasa, seperti muntah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana dengan Muntah yang Tak Disengaja, Apakah juga Membatalkan Puasa?
Apabila memahami penjelasan riwayat Abu Hurairah di atas, maka jelaslah muntah yang tanpa disengajai, tidak membuat puasa batal dan tak membuat seseorang harus mengqadha puasanya.
Begitu juga yang dikemukakan dalam buku 125 Masalah Puasa, para ulama sepakat bahwa muntah yang di luar kesengajaan itu tidak membatalkan puasa. Bagir lewat bukunya juga menyebutkan hal yang sama, bahwa muntah bukan karena sengaja tidak menjadikan puasa batal.
Misalnya, ketika seorang muslim muntah karena sakit, pusing, mual, bahkan mabuk kendaraan yang kemudian membuatnya muntah, maka muntah yang disebabkan demikian tidak membatalkan puasa.
Seseorang yang muntah di luar kesengajaan juga tidak wajib mengqadha puasanya, sebagaimana dalil sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah tersebut.
TRIBUNSUMSEL.COM- Naik kendaraan untuk menempuh perjalanan sembari berpuasa dapat membuat kondisi tubuh tidak fit sehingga berujung mabuk perjalanan dan muntah.
Gejala mabuk perjalanan biasanya ditandai dengan kondisi pusing, muncuk keringat dingin, mual dan muntah.
Lantas apakah mabuk perjalanan atau muntah saat dalam perjalanan dapat membatalkan puasa?
Melansir laman kemenag.go.id, muntah sejatinya bisa membatalkan puasa, namun dengan catatan apabila sengaja dilakukan.
Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Tirmidzi, yang artinya:
“Barangsiapa terdorong untuk muntah, maka tidak ada qadha baginya. Dan barangsiapa yang sengaja muntah, maka hendaknya mengqadha puasanya.” (HR. Tirmidzi)
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni, maksud terdorong muntah adalah muntah tanpa disengaja, tapi karena terpaksa muntah.
Artinya, mabuk perjalanan hingga muntah termasuk yang tidak disengaja sehingga tidak membatalkan puasa.
Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa muntah secara tidak sengaja bisa membatalkan puasa jika ada syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:
Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim:
“Barangsiapa yang muntah lalu ia menelannya kembali maka wajib baginya qadha.”
Jadi, jika terpaksa harus muntah karena mabuk perjalanan atau hal lainnya, maka disarankan segera berkumur-kumur dan membersihkan mulut.
Baca juga: Hukum Mencicipi Makanan Saat Sedang Berpuasa, Apakah Membatalkan Puasa? Berikut Pandangan Ulama
Baca juga: Puasa Ramadhan Tapi Belum Mandi Wajib Bagaimana Hukumnya? Begini Penjelasannya
Baca juga: Cara Ampuh Mengatasi Gangguan Asam Urat di Bulan Puasa Menurut Dr Zaidul Akbar, Konsumsi Ini
[Hukum Puasa Bagi Orang yang Sedang dalam Perjalanan]
Allah SWT memberikan keringanan bagi orang-orang yang berada dalam kondisi tertentu, seperti sakit, hamil, menyusui, atau dalam perjalanan jauh.
Muntah yang bagaimana yang membatalkan puasa? Bagaimana kalau ada yang mabuk perjalanan lantas mual dan muntah, apakah puasanya batal?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.” (HR. Abu Daud, no. 2380; Ibnu Majah, no. 1676; Tirmidzi, no. 720. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa jika seseorang itu menyengajakan dirinya untuk muntah, puasanya batal. Namun jika ia dikuasai oleh muntahnya, puasanya tidak batal. (Majmu’ Al-Fatawa, 25: 266)
Yang tidak membatalkan di sini adalah jika muntah menguasai diri artinya dalam keadaan dipaksa oleh tubuh untuk muntah. Hal ini selama tidak ada muntahan yang kembali ke dalam perut atas pilihannya sendiri. Jika yang terakhir ini terjadi, maka puasanya batal. (Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, 1: 556)
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al-Lajnah Ad-Daimah) pernah ditanya, jika ada seseorang yang berpuasa lantas ia muntah dan menelan muntahannya namun tidak disengaja, apa hukumnya?
Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah menjawab bahwa jika ada yang sengaja munta, puasanya batal. Namun jika ia dikuasai oleh muntahnya, puasanya tidak batal. Begitu pula puasa tidak batal ketika muntahnya tertelan tanpa sengaja. (Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 38579)
Kesimpulan, jika seseorang dalam perjalanan jauh lantas mabuk dan muntah (mual perjalanan), ini disebut muntah yang tidak bisa ia kendalikan (tidak sengaja), puasanya tidak batal. Wallahu a’lam.
@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 6 Ramadhan 1437 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam
Menjalankan ibadah puasa Ramadan merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam. Namun ada beberapa golongan tertentu yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Golongan tersebut di antaranya:
Lantas bagaimana jika kondisi tengah sakit? Bagaimana hukum membatalkan puasa karena sakit? Apakah diperbolehkan untuk membayar fidiah? Berikut penjelasannya.
Mengutip dari NU Online, orang sakit merupakan salah satu yang diberi keringanan dalam berpuasa oleh Allah karena sebab tertentu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka yang sedang dalam keadaan sakit diperbolehkan tidak berpuasa, apabila karena sakitnya lalu puasa akan memberi mudarat.
Selain itu orang yang sakit tapi berkeinginan puasa karena antusias namun bisa menyebabkan kematian, agama memberlakukan hukuman bagi dirinya dan bukan berdasarkan ibadah.
Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian
Infografis Hukum Menjalankan Ibadah Puasa
Syekh Nawawi Banten menjelaskan mengenai hukum membatalkan puasa karena sakit dalam kitab Kaasyifatus Sajaa:
اعلم أن للمريض ثلاثة أحوال فإن توهم ضررا يبيح له التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر، فإن تحقق الضرر المذكور ولو بغلبة ظن وانتهى به العذر إلى الهلاك وذهاب منفعة عضو حرم عليه الصوم ووجب عليه الفطر، فإذا استمر صائما حتى مات مات عاصيا، فإن كان المرض خفيفا كصداع ووجع أذن وسن لم يجز الفطر، إلا أن يخاف الزيادة بالصوم
Bagi orang sakit, berlaku pada tiga kondisi yang berkaitan dengan boleh atau tidaknya menjalankan puasa.
Orang-orang golongan tertentu mendapat dispensasi untuk tidak melaksanakan ibadah puasa Ramadan, sebagai gantinya mereka wajib membayar tebusan atau fidiah.
Hal ini merujuk pada kitab Fatawa al-Ramli yang berbunyi, "Imam al-Ramli menjawab bahwa fidiah adalah ibadah harta seperti zakat dan kafarat, maka niatkanlah mengeluarkan fidiah karena tidak berpuasa Ramadan."
Bagi orang sakit yang masih punya harapan sembuh, fidiah ini tidak wajib karena termasuk mampu untuk mengganti puasanya selain di bulan Ramadan.
Sementara untuk orang sakit dengan kondisi parah dan belum tentu sembuh, maka hukumnya wajib membayar fidiah.
Foto: Pixabay/ImageParty
Ilustrasi. Orang sakit parah dan belum tentu sembuh, maka hukumnya wajib membayar fidiah berupa makanan pokok.
Fidiah puasa disyaratkan berupa makanan pokok dengan memberi makan kepada satu orang miskin.
Untuk fidiah puasa orang sakit keras, lansia, ibu hamil dan menyusui, boleh dilakukan setelah subuh setiap hari puasa atau di luar bulan Ramadan.
Meskipun ada keringanan bagi suatu golongan dan hukum membatalkan puasa karena sakit atau kondisi lainnya, mereka tetap harus membayar fidiah sesuai dengan ketetapan Allah.